Sebab lapangnya hati adalah dengan menanamkan tauhid di hatinya.
Orang yang menggabungkan antara tauhid dan amal salih, keduanya akan memberikan kebahagiaan bagi pemiliknya dalam setiap aspek hidupnya.
Di antara cara melapangkan hati adalah dengan memaknai setiap nama dan sifat Allah, serta mengaitkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Penerapan keimanan seorang muslim di antaranya dengan sabar dan syukur di setiap urusannya.
Bersabar mencakup banyak aspek : saat ditimpa musibah, menjalankan ketaatan, dan meninggalkan kemaksiatan, seluruhnya membutuhkan kesabaran.
Rukun syukur :
– Meyakini dengan Hati
– Diucapkan dengan lisan
– Diwujudkan dengan perbuatan ketaatan
Pahami Hakikat Kebahagiaan
Allah Ta’ala berfirman di dalam surat An-Nahl ayat 97 (yang artinya), “Barangsiapa yang mengerjakan amal salih, baik dari laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka Kami sungguh-sungguh akan berikan kepada mereka kehidupan yang baik, dan Kami sungguh-sungguh akan balas mereka dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”.
Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya untuk ayat ini mengatakan, “Iman merupakan syarat sah dan diterimanya amal salih. Tidak dinamakan amal salih kecuali apabila diiringi dengan iman. Begitu juga iman membutuhkan amal salih. Karena bukti nyata iman adalah dengan amal anggota tubuh, baik dari amal-amal wajib dan amal-amal sunnah…” (Tafsirul Karimul Mannan, hal. 579).
Allah Ta’ala mengabarkan bahwa barangsiapa yang menggabungkan antara iman dengan amal salih, maka Allah akan memberikannya kehidupan yang baik di dunia ini dan balasan yang lebih baik kelak di akhirat. Oleh karena itu, sebab paling besar dan paling pokok untuk meraih kehidupan yang baik atau kebahagiaan hidup adalah iman dan amal salih. Keduanya merupakan sebab yang gamblang. Karena orang yang beriman dengan keimanan yang benar akan melakukan amal salih yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, orang-orang di sekitarnya, untuk hati dan akhlak, dan untuk kehidupan di dunia dan akhirat (Syarh Al-Wasail Al-Mufidah lil Hayatis Sa’idah oleh Yusuf bin Utsman Al-Huzaim hafizhahullah, hal. 21-23).
Perlu diketahui bahwa kunci hidup bahagia adalah lapangnya hati. Sebab terbesar lapangnya hati adalah dengan tauhid. Kemuliaan, kedudukan, serta keutamaan tauhid menjadi sebab lapangnya hati orang yang bertauhid.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka apakah orang yang Allah lapangkan hatinya untuk (memeluk) Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang telah membatu hatinya dari mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata” (Q.S. Az-Zumar: 22).
Abu Hamam Muhammad bin ‘Ali Al-Bidhani rahimahullah, menjelaskan bahwa tauhid dalam diri hamba dapat menguat dan melemah, dapat meningkat dan berkurang. Karena pokok tauhid adalah iman kepada Allah Ta’ala. Tauhid adalah mengesakan segala ibadah hanya untuk Allah Ta’ala (tauhid uluhiyah). Bagian lainnya adalah tauhid asma’ wa shifat (nama dan sifat Allah) dan tauhid rububiyah (perbuatan Allah). Sebagaimana iman dapat meningkat dan berkurang pada diri hamba, maka begitu pula dengan tauhid pada diri hamba (Ta’liq untuk Syarh Asbabu Syarhis Shadri, hal. 63).
Beriman Kepada Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah Ta’ala
Setiap bangunan memiliki pondasi. Pondasi tegaknya agama adalah iman kepada Allah Ta’ala dengan seluruh nama dan sifat-Nya. Hal ini merupakan pondasi yang menguatkan orang yang memegangnya dengan kuat, serta yang menyelamatkannya dari kerobohan dan ketergelinciran.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa menginginkan sempurnanya bangunan maka wajib baginya menggabungkan antara pondasi (asas/pokok bangunan) dan ketrampilan (tukangnya) serta menguasainya. Karena sempurnanya bangunan sejalan dengan kekuatan penggabungan antara pondasi dengan bangunan yang ada di atasnya. Maka amal-amal beserta tingkatan-tingkatannya, yang menjadi kekuatan dan pondasinya adalah iman (kepada Allah Ta’ala)…” (Fiqhul Asmail Husna, hal. 11).
Oleh karena itu, beriman kepada Allah Ta’ala dan kepada seluruh nama dan sifat-Nya merupakan kekuatan dan pondasi yang melahirkan bangunan berupa amal salih yang merupakan sebab terwujudnya kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Salah satu nama Allah Ta’ala adalah Al-Mannaan, yaitu Dzat Yang Maha Pemberi, banyak pemberiannya, luas kebaikannya, memberi pemberian kepada hamba-Nya, menjaga nikmat-nikmat-Nya kepada hamba-Nya sebagai keutamaan dan kemuliaan untuk hamba-Nya. Dan secara pasti, tidak ada Al-Mannaan kecuali hanya Allah Ta’ala. Al-Mannaan juga berarti Dzat yang terlebih dahulu memberi sebelum diminta (Fiqhul Asmail Husna karya Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 356).
Maka mari bersama kita renungkan. Betapa banyak nikmat Allah Ta’ala yang telah kita rasakan namun tak kita sadari. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan (juga) pada diri kalian, apakah kalian tidak memperhatikan?” (Q.S. Adz-Dzariyat: 20).
Nikmat sistem pernapasan, nikmat sistem peredaran darah, nikmat sistem pencernaan, nikmat melihat, nikmat mendengar, dan berbagai nikmat lainnya. Pernakah kita meminta tiap harinya agar Allah Ta’ala tetap memberikan nikmat-nikmat tersebut? Dengan kita beriman bahwa salah satu nama Allah adalah Al-Mannaan, Dzat Yang Maha Pemberi, memberi sebelum diminta, maka diharapkan lahirlah amal shalih berupa sabar dan syukur, yang dengannya dapat mengantarkan kita meraih hidup yang bahagia.
Raih Kebahagiaan dengan Sabar dan Syukur
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan perkara seorang yang beriman (mukmin). Sesungguhnya semua perkaranya adalah baik. Dan tidaklah hal itu terjadi pada seseorang kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapat kesenangan, dia bersyukur, maka itu kebaikan baginya. Dan jika menghadapi kesulitan, dia bersabar, maka itu kebaikan baginya. (H.R. Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa semua perkara atau urusan dapat menjadi suatu kebaikan, hanya bagi orang yang beriman, sehingga kebaikan atau kebahagiaan hanyalah bisa didapatkan dengan keimanan kepada Allah Ta’ala. Hadits di atas juga menunjukkan bahwa iman merupakan satu bagian, yang mana setengah bagiannya adalah sabar dan setengah bagian lainnya adalah syukur. (Ta’liq Al-Umurul Mu’inah ‘ala Ash-Shabri ‘ala Adza Al-khalqi, hal. 30-31).
Sabar mempunyai kedudukan yang agung dan tinggi dalam agama. Allah Ta’ala telah menyebutkan agung dan tingginya kedudukan sabar dalam banyak ayat dalam Al-Qur’an. Sebagaimana perkataan Imam Ahmad rahimahullah, “Allah telah menyebutkan (tentang) sabar dalam Al-Qur’anul Karim sebanyak lebih dari 90 tempat.”.
Hal ini menunjukkan dengan jelas kepada kita atas agungnya perkara sabar dan tingginya kedudukannya. Seorang hamba sangat membutuhkan kesabaran, baik bersabar dalam perkara ketaatan untuk melakukannya, bersabar dari perkara yang dilarang sehingga meninggalkannya, dan bersabar dalam perkara takdir berupa musibah yang membuat resah dan marah (Ta’liq Al-Umurul Mu’inah ‘ala Ash-Shabri ‘ala Adza al-khalqi oleh Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr hafizhahullah, hal. 3-4).
Begitu pula dengan syukur. Para ulama rahimahumullah menjelaskan bahwa syukur terdiri dari 3 rukun, yaitu:
- Dengan hati, yaitu meyakini nikmat yang didapat adalah pemberian dari Allah Ta’ala semata
- Dengan lisan, yaitu memuji Allah Ta’ala atas segala nikmat-Nya
- Dengan anggota tubuh, yaitu menggunakan anggota tubuh untuk ketaatan kepada Allah Ta’ala
Puncak dari syukur seorang hamba adalah ketaatan kepada Allah Ta’ala yang dilakukan dengan anggota tubuhnya, yaitu menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, sehingga mengantarkan hamba kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Penulis : Abdurrahman Triadi Putro, S.T.P. (Alumnus Ma’had Al-‘Ilmi)
Muroja’ah : Ustadz Abu Salman, B.IS.